Saturday, February 11, 2012

Peluk

Akhir-akhir ini lagi sering baca semua novelnya Dee. entah kenapa dari dulu suka banget, dan apapun yang dia tulis seakan bisa masuk dan merasuk ke setiap persendian dan sel darah aku, seakan bisa hanyut dan turut merasakan semua sensasi perasaan yang dia curahkan ke dalam cerita itu. suka merinding, dan bahkan sampai nangis pas bacanya. Perahu Kertas, Rectoverso, semuanya berhasil membuat aku berkaca-kaca. how touchy. kalau Madre entah kenapa tidak terlalu berkesan. mungkin karena gaya bahasanya yang terkesan relatif lebih lugas daripada novel-novel yang lainnya. sedangkan aku, di saat-saat seperti ini lagi pengen sesuatu yang cenderung agak penuh kiasan dan ekspresif. yah, jiwa melankolis saya kembali terusik, saudara! :D

ada satu cerita dalam Rectoverso, yang aku paling suka. sebenarnya hampir semuanya aku suka. sebagian besar. Ada Malaikat Juga Tahu, Peluk, Hanya Isyarat, Curhat Buat Sahabat, Selamat Ulang Tahun. semuanya berkesan. bahkan Malaikat Juga Tahu dan Curhat Buat Sahabat sudah aku kagumi jauh-jauh hari sebelum ini. sudah beberapa waktu yang lalu (hampir dua tahun yang lalu) aku udah mulai histeris kalau ada dua cerita itu. hmmm mungkin karena sedikit merasa ada ikatan perasaan yang sama, karena merasakan pengalaman yang hampir sama, kalau tidak bisa dikatakan sama persis.

well, sekarang lagi suka sama satu cerita. Peluk. lagunya juga. semuanya. dan entah kenapa, sekali lagi, merasa ada persamaan. mungkin dari sinilah kehebatan seorang penulis diuji, saat semua cerita yang dibawakannya terasa menyatu dengan pembacanya. ataukah justru pembacanya yang seakan ingin menyatukan perasaannya dengan cerita itu? entahlah, yang jelas, bagi aku, Peluk ini memiliki kesan yang mendalam. dan juga pesan. sama dalamnya.

ijin menulis kembali di sini ya, Mbak Dee :)

Peluk, Rectoverso - Dee

Ada keanehan yang menyembul keluar dan kini menguasai pikiranku, yang membuat aku berjarak dengan diriku sendiri dan memunculkan satu tanya: mengapa kulakukan ini?


Keanehan lain menyusul, yakni jawaban muncul dengan sendirinya tanpa proses berpikir: memang ini jalannya. itukah yang dinamakan firasat? Menahun sudah aku tahu, hari ini akan tiba. Tapi bagaimana bisa pernah kujelaskan? Aku menyayangimu seperti kusayangi diriku sendiri. Bagaimana bisa kita ingin pisah dengan diri sendiri?


Barangkali itulah mengapa kematian ada, aku menduga. Mengapa kita mengenal konsep berpisah dan bersua. Terkadang kita memang harus berpisah dengan diri kita sendiri; dengan proyeksi. Diri yang telah menjelma menjadi manusia yang kita cinta.


Sedari tadi kamu seperti orang kesakitan, merangkul erat badanmu sendiri dengan mulut terkatup rapat dan rahang mengencang. Aku ingin bilang, aku paham kenapa kamu sakit. Namun tak sepatah kata pun keluar. Aku ingin bilang, aku sakit melihat kamu sakit. Namun bungkusan udara ini memberangus mulut kita berdua.


Mengapa kata-kata justru hilang pada saat seperti ini? Saat kulihat kamu butuh penghiburan, nasihat bijak, atau humor segar agar kesedihan ini beroleh penawar? Kemampuan kita berkata-kata menguap. Kemampuanku melucu lenyap. Kebisuan menjadi hadiah kebersamaan kita bertahun-tahun. Aku ingin bilang, berbarangan dengan makin pilunya hati ini, ada keindahan yang kurasakan, dan aku tak mengerti mengapa bisa demikian.


Pandangan mata kita yang sedari tadi berlari-lari mulai berani menemukan satu sama lain. Rasanya kita sama-sama tahu, entah kapan lagi tatapan seperti ini terjalin. Tak mungkin kulupa caramu memandangku, dan tak mungkin kau lupa bagaimana semua ini bermula. Aneh. Pada saat kita hendak berbalik dan menutup pintu, mendadak ruang yang kita tinggalkan memunculkan keindahan yang selama ini entah bersembunyi di mana.


Tanganmu bergerak bimbang seperti ingin meraih tanganku, tapi kau urungkan niat itu. Dua manusia yang sudah bercinta bertahun-tahun dan merasakan setiap jengkal kulit masing-masing, mendadak enggan untuk bersentuhan.


"Habis ini, lalu apa? Kamu sendirian. Aku sendirian. Buat apa? Kenapa kita tidak berdua lagi saja?"


Suaramu pertama dalam setengah jam terakhir.


Mulutku refleks membuka, ingin menjawab. Tapi tak ada bunyi keluar selain tiupan karbondioksida. Aku tak tahu jawabannya. Aku tidak tahu sesudah ini lantas akan terjadi apa. Aku tidak ingin bersamamu cuma karena enggan menangani kesendirian. Aku tidak ingin bersamamu cuma karena enggan sendiri. Kau tidak layak untuk itu. Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi.


"Apa artinya cinta yang tidak lagi sama, yang kamu sebut-sebut sejak tadi itu? Memang cinta itu ada berapa macam?" tanyamu dengan nada meninggi. Air mata yang tadi sudah reda tampak siap-siap melancarkan serangan lanjutan. Entah berapa gelontor lagi yang bakal tiba. Mendadak aku lelah karena harus menjelaskan variasi cinta macam pedagang yang mempresentasikan katalog produk.


Aku tidak tahu cinta punya berapa macam varian. Kau harus bertanya langsung pada hatiku, karena dialah yang satu hari menutup dan mengucap: "cukup." Dia yang berkata: "aku tidak lagi jatuh, jalan ini sudah jadi jalan lurus. Teruskan maka aku mati, karena takdirku adalah jatuh. Bukan berjalan di setapak datar apalagi mendaki."


Hati ini adalah air, aku lantas menyimpulkan. Baru mengalir jika menggulir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Ada gravitasi yang secara alamiah menggiringnya. Dan jika peristiwa jatuh hati diumpamakan air terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali. Namun kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir. Siapa yang mengatur itu? Aku pun tak tahu. Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.


Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Aliran ini harus kembali memecah dua agar kita sama-sama bergerak. Sebelum kita terlalu jengah dan akhirnya pasrah dalam amarah.


Jadi, aku tidak tahu cinta itu terdiri dari berapa macam. Yang kutahu, cinta ini tersendat, dan hatiku seperti mau mati pengap. Kendati kusayang kamu lebih dari siapa pun yang kutahu. Kendati bersamamu senyaman berseliut pada saat hujan. Aku aman. Namun aku mengerontang kekeringan. Dan kini kutersadar, aku butuh hujan itu. Lebih dari apapun.


"Kamu akan menyesal.." gumammu lagi.


Mungkin. Kini kita tak mungkin tahu.


"Enam tahun. Kita akan buang enam tahun itu begitu saja?" Retorikal dan getir, kamu bertanya.


Kamu bukan tisu sekali pakai. Kita tidak mungkin membuang apapun jika kita percaya hati bukan diperuntukkan untuk menyimpan. Otakku merekam dan menyimpan kamu, kita, dan enam tahun ini. Mengalir, hanya mengalir. Namun kata-kata membeku di ujung mulutku seperti stalaktit dan stalagmit. Tampak dinamis dalam konsep tapi tidak bergerak.


"Ngomong, dong!" Tiba-tiba suaramu meledak murka.


Bentakanmu seperti aba-aba perwira yang menggerakkan kedua tanganku untuk tahu-tahu merengkuhmu. Refleks yang tak kusangka akan muncul.


Tubuhmu berontak. Kurasakan amarahmu, sakitmu. Kupererat rengkuhanku. Tanganmu meronta, berusaha melepaskan diri. Wajahmu kau tarik menjauh. Segala macam cara kau erahkan untuk bebas dari pelukanku. Namun aku bertahan.


Rasakan, bisikku dalam hati. Panas tubuh kita berdua mencairkan apa yang sudah beku bertahun-tahun. Rasakan betapa lamanya kita terlelap dan membiarkan aliran itu padam. Begitu terbiasa kita memandangi taring-taring es itu hingga menjadi layaknya aksesori ruangan, padahal kita sudah mau mati kedinginan, kekeringan. Kamu tak layak didera. Kita tak layak disiksa.


Berangsur, tubuhmu tenang. Otot-ototmu yang tegang mulai melemas, lelah meronta, dan lunglai pasrah dalam pelukanku. Kau mulai menangis. Aku mulai menangis. Lenganmu perlahan mendaki dan balik mendekapku. Kita resmi berpelukan.


Cukup lama tubuh kita terpaut hingga kata-kata yang menggantung beku mulai cair dan mengalir ke dalam darah kita masing-masing. Hatimu tahu, seperti hatiku pun tahu. Nadi kita mendenyutkan pesan-pesan yang tahunan sudah menanti untuk bersuara. Inilah keindahan yang kumaksud. Kejujuran tanpa suara yang tak menyisakan ruang untuk dusta. Sakit ini tak terobati dan bukan untuk diobati. Dan itu jugalah keindahan yang kumaksud. Rasakan semua, demikian pinta sang hati. Amarah atau asmara, kasih atau pedih, segalanya indah jika memang tepat pada waktunya. Dan inilah hatiku, pada dini hari yang hening. Bening. Apa adanya.


Hati-hati, lenganku melonggar, melepaskan tubuhmu. Aku tahu aku telah dimengerti, meski sekali saja pelukanku. 


Aliran ini memecah. Indah. Meski aku berbalik pergi dan tak kembali.




dan dalam hal ini, aku, berada dalam posisi seseorang yang dipeluk, untuk dimintai pengertian, lalu kemudian ditinggal pergi. dan tak kembali.


Aku tau, suatu saat hal ini pasti akan terjadi. Kita sama-sama tahu, dan kamu sudah berulang kali mengingatkan hal itu kepadaku. tapi rasa ini benar-benar tidak bisa aku cegah, semua ini seakan diluar kuasaku. sampai pada akhirnya aku berjanji dan bertekad, apabila hari itu tiba, aku pasti akan kuat. kuat menerima segala hal yang akan terjadi, segala risiko yang harus aku tanggung karena pilihan ini. dan kamu pun berjanji untuk memberitahu semua yang terjadi, semua tanda-tanda, saat hari itu tiba. karena kita pasti tidak akan kuasa untuk menolak, atau mencegah datangnya hari itu. sepasang janji kita ini mampu menguatkan aku untuk selama ini menjalani hari-hari penuh sayang, yang bahkan setelah kita tau bahwa jalan ini masih mengambang, setelah kita tau bahwa mungkin jalan dan tujuan itu hanya fatamorgana.


yang berbeda dari kisah kita dan kisah fiksi itu adalah, kamu tidak pernah jujur, meminta pengertian dari ku, tidak ada penjelasan mengenai semua ini. dan aku harus sedikit demi sedikit meraba segalanya, mencoba mengaitkan satu hal dengan hal lainnya, sampai akhirnya merujuk pada satu titik kesimpulan: hari itu, hari yang sangat kita hindari, akhirnya tiba. dan aku bahkan tak sempat bersiap dan mempersiapkan segalanya. 


kau tau? mungkin pada awalnya aku berpikir akan kuat menerima segalanya. Iya, aku kuat. aku yakin pasti akan kuat. Tapi itu hanya dengan kondisi jika kamu juga membantu menguatkan aku, kamu membantu memberi pengertian ke aku, seperti janji kamu dulu. tapi sekarang, apa kenyataannya?


jadi jangan salahkan aku kalau aku membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk sembuh dari semua ini.




0 comments:

Post a Comment