Friday, January 11, 2013

Curhat Buat Sahabat

Pasca sakit kemarin, sebenernya sampai sekarang juga masih sakit, bener-bener merasa sendiri. Jauh dari keluarga, jauh dari orang yang sayang dan perhatian sama kita. Sebenernya aku tipe orang yang lumayan jarang sakit, tapi sekalinya sakit langsung ambruk tak berdaya. Mungkin karena fisik udah terlalu lelah jadi menuntut istirahat total setotal-totalnya. Dan yang paling menyedihkan adalah, selain tidak mendapatkan perhatian dari siapa-siapa, aku juga jadi gak bisa buat sekedar main dan menghirup udara bebas. Weekend yang seharusnya bisa disalurkan buat menikmati hidup, sekarang harus dihabiskan cuma dengan tidur tergeletak di tempat tidur. Berharap dengan begitu kekuatan tubuh kembali lagi. I still have so many things to do. So, cepatlah sembuh!

Puncaknya adalah tadi malam. Saat tepat pukul 3 pagi, demam lagi tinggi-tingginya. Mau ngompres badan juga gak punya tenaga buat sekedar bangun dan ambil air. Even walaupun haus banget juga gak bisa gerak. Sedih banget karena gak bisa ngapa-ngapain. Coba kalo lagi di rumah, pasti ada yang jaga, yang rawat...
Ah yasudahlah, memang demikian keadaannya.

Hari ini, masih lemes-lemes. Akhirnya cuma bisa menghibur diri sambil baca-baca buku. Terus inget ada satu cerita di novel Rectoverso-nya Dee, yang judulnya "Curhat buat Sahabat", yang rasanya sangat merepresentasikan keadaanku saat ini. Well, pengen tulis ulang di sini.

Gaun hitammu menyambar kaki meja, lalu menyapu ujung kakiku. Kamu sengaja berdandan. Membuatku agak malu karena muncul berbalut jaket jins, celana khaki, dan badan sedikit demam.

"Kamu tidak tahu betapa pentingnya malam ini," katamu, tertawa tersipu, seakan minta dimaklumi. Pastinya kamu yang merasa tampil berlebihan, karena katamu tadi di telepon, kita hanya akan makan malam sambil mendengarkanmu curhat.

Sebotol Muscat yang terbalur dalam kepingan es diantarkan ke meja. Dudukku langsung tegak. Jangan-jangan malam ini memang betulan penting.

Anggur itu berusia enam tahun. Gaun itu cuma keluar sekali dalam dua tahun. Restoran ini terakhir kamu pilih saat ulang tahun hari jadi jatuh cintamu ke-1, empat tahun yang lalu. "Ada yang perlu dirayakan? Selain kamu baru sembuh dari sakit dan aku yang gantian tidak enak badan?" tanyaku, berusaha santai. 

"Malam ini aku lahir baru."

"Kamu... bertobat?"

"Bisa jadi itu istilahnya!" tawamu menggelak-gelak lepas, lalu kamu mengatur napas, "Aku... selesai."

Mataku menyipit. Menunggu penjelasan.

"Selesai! Semua sudah selesai. Lima tahun sudah cukup. Aku berhenti menunggu. Berhenti berharap. Cheers!" Kamu dentingkan gelasmu ke gelasku.

Bulu kudukku meremang tersapu hawa demam yang tiba-tiba melonjak sesaat dari dalam tubuh. Atau pendingin ruangan yang terlampau sejuk. Piano yang mengalun terlalu indah di kuping. Kamu terlalu cantik saat menyerukan ikrar kebebasanmu. Aku merinding lagi dan selapis keringat dingin menyembul di tepi kening.

"Kenapa?" tanyaku, dan kamu pasti sudah siap untuk itu. Untuk sepotong kata tanya itulah kamu berdandan, mengenakan baju terbaikmu, dan memilih tempat ini.

Tolong jangan tersinggung jika kubilang aku tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Pertama, akan ada jeda kosong sekurang-kurangnya tiga menit, di mana aku akan melipat tangan di dada sambil memandangimu sabar, dan kamu akan memandang kosong ke satu titik, seolah di titik itulah halte tempat berbagai kenangan tentangnya berkumpul dan siap diangkat ke seluruh tubuhmu. Mulutmu lalu berkata-kata tentangnya, matamu dipenuhi olehnya, dan tak lama lagi kamu akan terlapisi saput yang tak bisa kutembus. Hanya kamu sendirian di situ. Dan kamu tak pernah tahu itu.

Ceritamu kerap berganti selama lima tahun terakhir. Semenjak kamu resmi tergila-gila padanya. Kadang kamu bahagia, kadang kamu biasa-biasa, kadang kamu nelangsa. Namun saput itu selalu ada. Kadang membuatku ingin gila.

"Aku menyadari sesuatu waktu aku sakit kemarin." Kamu mulai bertutur setelah sembilan puluh detik menatap piano. "Satu malam aku sempat terlalu lemas untuk bangun, padahal aku cuma ingin ambil minum. Tidak ada siapa-siapa yang bisa kumintai tolong.."

Jaketku harus kurapatkan. Sensasi meriang itu datang lagi.

"Malam itu rasanya aku sampai ke titik terendah. Aku capek. Dan kamu tahu? Aku tidak butuh dia. Yang kubutuhkan adalah orang yang menyayangi aku... dan segelas air putih."

Kepalamu menunduk, matamu terkatup, kamu sedang menahan tangis. Malam panjang kita resmi dimulai.

"Tapi... aku janji.. tangisan ini buat yang terakhir kali.." katamu tersendat, antara tawa dan isak. Berusaha tampil tegar.

Dan inilah saatnya aku menepuk halus punggung tanganmu. Dua-tiga kali tepuk. Dan tibalah saatnya kamu tersengguk-sengguk. Tak terhitung banyaknya. Lalu bedak dan lipstikmu meluntur tergosok tisu.

"Orang.. yang begitu tahu aku sakit.. mau jam berapapun.. langsung datang..." Susah payah kamu bicara.

Aku ingat malam itu. Hujan menggelontor sampai dahan-dahan pohon tua di jalanan rumahku rontok seperti daun kering. Teleponku berdering pukul setengah dua belas malam. Aki mobilku kering, jadi kupinjam motor adikku. Sayangnya adikku tak punya jas hujan. Dan aku terlalu terburu-buru untuk ingat bawa baju ganti. Ada seseorang yang membutuhkanku. Ia minta dibelikan obat flu karena stok di rumahnya habis. Ia lalu minta dibawakan segelas air, yang hangat. Aku menugguinya sampai ia ketiduran. Dan wajahnya saat memejamkan mata, saat semua kebutuhannya terpenuhi, begitu damai. Membuatku lupa bahwa berbaju basah pada tengah malam bisa mengundang penyakit. Saat itu ada yang lebih penting bagiku daripada mengkhawatirkan virus influenza. Aku ingin membisikkan selamat tidur, jangan bermimpi. Mimpi mengurangi kualitas istirahatnya. Dan untuk bersamaku, ia tak perlu bermimpi.

Napasmu mulai terdengar teratur. Air mata masih mengalir satu-satu, tapi bahumu tak lagi naik turun. Kamu menatapku lugu, "Keinginan itu... tidak ketinggian, kan?"

Lama baru aku bisa menggeleng. Tak ada yang muluk dari obat flu dan air putih. Tapi kamu mempertanyakannya seperti putri minta dibuatkan seribu candi dalam semalam.

"Jadi, sekarang kamu mau bagaimana?" Demikianlah ciri khas malam curhat kita. Kamu tidak butuh instruksi. Aku hanya bertindak seumpama cermin yang memantulkan segala yang kamu inginkan. Kamu sudah tahu harus berbuat apa, sebagaimana kamu selalu tahu perasaanmu, kepedihanmu, dan langkahmu berikutnya. Kamu hanya butuh kalimat tanya.

"Aku akan diam," jawabmu dengan nada mantap yang membuat senggu dan isak barusan seolah tak pernah terjadi.

"Diam?"

"Ya. Diam! Diam di tempat. Tidak ada lagi usaha macam-macam, mimpi muluk-muluk. Karena aku yakin di luar sana, pasti ada orang yang mau tulus sayang sama aku, yang mau menemani aku pada saat susah, pada saat aku sakit.."

Kamu selalu tahu kebutuhanmu dari waktu ke waktu. Yang tidak kamu tahu adalah kamu sendirian dalam saput itu.

Gelas-gelas kita kembali diisi. Lagi, kamu mengajakku mengadu keduanya, dan kali ini dengan sumringah kamu berkata, "Demi penantian yang baru! Yang tidak muluk-muluk! Cheers!"

Sesuatu dalam ruangan ini terlalu menyakitkan bagiku. Entah semburan angin dari mesin pendingin atau suara piano yang mengiris-iris kuping. Entah anggur ini terlalu tua bagi lidahku atau cinta ini terlalu tua bagi hatiku. Kurapatkan jaketku hingga tak bisa ditarik ke mana-mana lagi.

"Kamu sakit?" Kudengar kamu bertanya dengan nada cemas. Kulihat kedua alismu spontan bertemu, menunjukkan rasa heran yang sungguhan.

"Ya."

"Gara-gara kehujanan waktu ke rumahku itu, ya?"

"Ya."

Sebotol mahal anggur putih ada di depan matamu, tapi kamu tak pernah tahu. Kamu terus menanti. Segelas air putih.

---------

Seperti itulah. Mungkin gak seratus persen mirip, tapi aku bener-bener bisa rasain gimana sedihnya, sendirian ketika kita sakit. Dan, pastinya kita mengharapkan orang yang kita sayang ada di samping kita, kan? Tapi kadang hidup tidak semudah itu. Karena kadang orang yang kita sayang pun tidak sesayang itu sama kita.

Anyway, Curhat buat Sahabat ini nantinya akan difilmkan. Udah jadi malah, tinggal tanyang tanggal 14 Februari 2013 nanti. Ini dia teasernya. Can't wait to watch it! Pasti berasa nonton kisah diri sendiri sih. Sounds interesting :D



Oh iya ini juga ada lagunya. Satu paket dari Rectoverso. Salah satu Dee's masterpieces yang paling mengena, yang paling aku suka.


Intinya, sekarang aku cuma:
Ingin diam duduk di tempatku menanti seorang yang biasa saja. Segelas air di tangannya saat ku terbaring sakit. Yang sudi dekat, mendekap tanganku, mencari teduhnya dalam mataku. Dan berbisik "kau tak sendiri, oh dewiku"

Dan demi Tuhan, hanya inilah yang, ini saja kuinginkan....

2 comments:

alia pewe said...

aya, maaf ya nggak tau kalo lo sakit :((
sekarang gimana kabarnya ? sudah lebih baikkah ?

btw ttg rectoverso curhat buat sahabat, waktu gw pertama kali baca, gw nggak langsung menangkap maknanya. apalagi maksud kata-kata terakhir tentang wine dan air putih. tapi bgitu muncul kabar rectoverso mau dijadiin film, dan melihat trailernya, baru deh ngeh maksud ceritanya apa.

dan emang ceritanya so sweet ya, padahal ngambil tema kehidupan sehari-hari. Dee emang fantastis :D

gayatri-ardila said...

hehehe gapapa al, sekarang udah agak mendingan kok :)

iyaa, gue udah dari lamaaa banget suka sama curhat buat sahabat. Menurut gue ini the best story di Rectoverso hehe. Bahkan kadang sampai ada yang kejadian beneran di dunia nyata kan. Simpel tapi mengena. Dalem. Salut sama Dee!

Post a Comment